8 Feb 2014

Hilda

Hilda Lu'luin Alfira Nanda
Pengajar Bahasa Inggris

Ketika Jodoh Dipertemukan oleh Rindu
Entah mengajar atau berinteraksi dengan anak-anak yang membuat aku ketagihan, ,,
Begitu menyenangkan dan apa adanya,,,
Bermain dan Belajar mengenali anak-anak ,,,
Mereka bagaikan kertas polos, dimana orang dewasa yang berperan penting membentuk dan mengisinya. Dan aku orang dewasa, yang punya kewajiban untuk itu.
Kami berjodoh, bertemu secara tidak sengaja karena kerinduan.


Berpisah dengan murid-murid yang hampir setiap hari bersama membuat tulisan, belajar bahasa inggris, melihat video, atau membalas surat untuk sahabat-sahabat di nusantara bukanlah hal yang mudah untuk dilalui. Ketika rindu sudah tak mampu disimpan, satu cara pengobat rindu adalah dengan mengenang setiap detik bersama mereka walaupun dalam diam. Seseorang  yang mengerti kerinduan itu mengantarku pada sebuah SMP dhuafa di Bubulak, SMP Cahaya. SMP dhuafa karena memang anak-anak yang bersekolah disana tidak memiliki dana yang cukup untuk bersekolah di negeri yang hanya mengizinkan orang kaya yang berhak mengenyam pendidikan berkualitas. SMP yang ketika kamu naik angkot 15 dari terminal laladon Bogor, cukup bilang “Bang turun di sampah2” dan turunlah kamu di depan pintu gerbang  sekolah(eh,itu gerbang bukan ya??). SMP yang murid-muridnya sering diolok-olok siswa sekolah lain karena bangunan sekolahnya mirip kandang ayam (kisah beberapa muridku). SMP yang ketika hujan deras turun otomatis kegiatan belajar akan berhenti  sejenak karena buku anak-anak akan basah terguyur hujan jika kegiatan belajar dilanjutkan. SMP yang aku yakin bisa melahirkan orang-orang bermental kuat suatu saat. Dan rindupun terobati, aku bercerita, aku bermain,mengajar, dan berbagi pengalaman dengan mereka seperti apa yang aku alami dengan murid-muridku di Kapuas.
Sebulan mengajar di SMP Cahaya , Pak Arfan, pendiri sekolah dhuafa tersebut menceritakan ada beberapa daerah di Bogor yang membutuhkan sekolah. Banyak anak-anak yang tidak sekolah dan putus sekolah. Salah satunya di Ciareteun, tempat prasasti Ciareteun, peradaban pertama di Jawa ditemukan. Beliau ‘menantang’ untuk mendirikan sebuah sekolah di tempat itu. Ada perasaan berat menerima tantangan itu awalnya. Kuliah S2 dengan beasiswa yang menuntutku mencapai standar tertentu, jadwal kuliah dan praktikum yang luar biasa padat memerlukan waktu lebih untuk bisa mencapai target yang kuinginkan. Namun hidup bukanlah mengejar nilai-nilai, bukan pula mengejar standar yang telah ditetapkan manusia. Bukankah aku disini untuk menuntut ilmu, lantas tidak berhakkah orang lain menuntut ilmu dariku? Bukankah Allah akan memudahkan setiap hambanya yang memudahkan orang lain?Dari sana aku yakin, mengajar anak-anak bukanlah penghambat bagi proses belajarku dan yakin Allah akan memberikan banyak kemudahannya buatku. Bismillah..
Perjalanan pertama ke tempat yang konon menjadi pusat peradaban zaman dulu itu sungguh romantis, bersama Pak Arfan dan istri serta Ketiga temanku (Diah, Kak Aul, dan Aal) yang entah kena hipnotis atau gombalan yang mana akhirnya mau menyibukkan diri terjun ke tempat yang belum mereka ketahui, diiringi gerimis yang tiada henti, melewati gunung kapur yang menjulang tinggi, batu-batu yang tidak bersahabat dan siap menjatuhkan setiap diri yang tidak berhati-hati, jalanan terjal meninggi dan ban sepeda motor yang senantiasa jatuh hati pada tanah lempung yang menempel seperti oli. Hey, Allah memberiku hadiah dengan mengirimku ke tempat ini untuk mengobati rinduku yang mendalam, bertemu anak-anak dan bahkan lokasi yang hampr sama dengan tempat aku mengajar setahun lalu.
Kami bertemu dengan tokoh maysarakat, berharap ada dukungan dari penduduk lokal. Dan memang selalu ada jalan untuk sebuah niat baik, dan di Indonesia masih banyak orang baik. :)
Ada penduduk yang bersedia meminjamkan teras rumahnya untuk dijadikan tempat belajar.Kesulitan berikutnyapun datang, ketika anak-anak masih trauma dengan sekolah, ketika para orang tua tidak mengizinkan anaknya sekolah dengan alasan tidak ada yang menjaga rumah,tidak ada yang mengurus adiknya, atau karena tidak ada baju. Yah,perlu banyak bicara dan bergelemak peak untuk meyakinkan orang tua bahwa pendidikan itu penting. Bukan hanya mencari uang yang konon katanya bisa memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi segelintir orang.
Aku sungguh kagum dengan orang-orang ini. Mereka mau bersusah-susah menempuh perjalanan ini, datang satu persatu dari rumah ke rumah mengajak anak-anak yang putus sekolah untuk bergabung di sekolah ini. Mereka tulus mendirikan sekolah ditempat pelosok, tanpa ada pamrih sedikitpun. Sedangkan aku jelas-jelas karena pamrih ingin mengobati rindu. Dan ada 10 orang berhati mulia berikutnya yang bersedia menyibukkan diri pergi ke tempat itu setiap hari ditengah-tengah kesibukan mereka menuntut ilmu. Nisa, Alif, Fajrin, Taufik, Rivi, Ani, Puka, Qiqa, Deden, dan Andhra. Teman, smoga kita tetap istiqomah dengan langkah kita. Meskipun dengan keterbatasan, baik buku, alat-alat sekolah, ataupun tempat, satu jam yang kita lewatkan disana akan mengubah masa depan mereka. Tanpa kalian, Andin,Fahru,Akhyar,Dewi, rena, Anisa, Ega, Aji, Awang, Hadi, Oliv,Indri, Sinta, Rohim dan Mita mungkin hanya akan menjadi buruh seperti orang tua mereka. Tapi sejam yang kita sisihkan setiap harinya akan memberikan ilmu yang insyaallah bermanfaat untuk kehidupan yang lebih baik buat mereka. Mungkin salah satu atau lebih akan menjadi seorang guru yang sangat menyayangi murird-muridnya, Pemimpin masyarakat yang amanah,atau peneliti yang mampu memberikan kebanggaan bagi negerinya. Hanya Allah yang tau. Namun aku yakin hal itu. Sangat Yakin.

0 comments :

Posting Komentar