22 Feb 2014

Pak Arfan

SMP Mentari Pagi, semburat cahaya di peradaban awal Pulau Jawa.....

Bermula dari telpon seorang kawan, Pak Sapto. Menanyakan kemungkinan membuka sekolah di tempat agak jauh dari rumah. dimana ? di Ciaruteun ... lah itu kan tempat bersejarah ? iya situs peradaban pertama pulau Jawa tergolek di sana.
Segera bersama keluarga menyusuri perjalanan menuju desa tersebut. Dari kawasan IPB Dramaga bergerak menuju arah barat Ciampea. Berbelok  lewat pasar Ciampea Baru dan menyusuri sisi bukit kapur. Lepas jalan aspal sontak saja di sapa jalan bebatuan. Ada sebagian yang di perkeras tapi sekitar 90 % jalan itu rusak, batuan lepas.
Sekitar 3 km, naik turun meliuk liuk di motor.menghindari licin dan bongkahan sekepalan tangan bahkan lebih. Sampailah di kampung ini. Kampung Pabuaran desa Ciaruteun Ilir. Terasa disparitas si miskin dan si kaya. Ada yang punya mobil tapi banyak juga yang gubuk rumahnya. Obrolan berlanjut menemui pak Cecep , salah satu pendatang yang beristrikan orang desa ini. Ia mengemukakan sangat lambatnya kemajuan di kampung ini terutama pendidikan. Hanya ada SD dan SMP jika sudah berjalan 3 km. Dengan kondisi jalan rusak, memang menyulitkan siswa.
Masyarakat sini banyak yang tidak melanjutkan ke SMP, bahkan SD saja berhenti atau tidak lulus. Baru sekarang saja ada dua orang yang melanjutkan kuliah, itupun harus kost di kota Bogor. Selanjutnya pak Cecep mengemukakan ada  masyarakat yang menginginkan sekolah ada di kampung ini, kalau bisa ada SD dan SMP....Pertemuan berakhir. Waduh waduh, seingat kita prasasti ciaruteun adalah  salah satu penginggalan sejarah awal nusantara.... berarti sudah ratusan tahun... pendidikannya ? pembangunannya ?

Menentukan Tempat Belajar
Dengan berbagai persiapan, terutama mencari tempat belajar yang susahnya banget. Ada majelis taklim, namun tidak dizinkan dengan alasan takut kotor. Beberapa rumah yang terasnya mau di pinjam tidak membolehkan karena buat mengikat sayur. Begitupun ketika mau pinjam masjid... Sampai Pak Cecep tidak habis fikir, kenapa masyarakat ini ? Diubah cara dengan menyewa. Tidak ada juga yang mau...
Dengan perjuangan akhirnya ada teras rumah yang bisa dipinjam, itupun sementara. Tapi tidak mengapa, karena masalah tempat teratasi.
Setelah itu dilakukan sosialisasi baik menemui tetangga, dengan pendataan maupun  silaturahim pada pengajian di Kampung Poncol satu RT dengan Kampung Pabuaran.
Menyentuh hati relawan guru
Tantangan selanjutnya adalah... mencari Relawan guru. Bisa di bayangkan siapa guru yang mau mengajar , ongkos sendiri, masuk ke jalan hancur apalagi waktu hujan.
Bu Hilda, Bu Diah , Pak Aal, Bu Aul, bu Annisa dan kawan-kawan dari Intitut Pertanian Bogor  akhirnya bersedia berjibaku mengajar sekaligus mencari siswa. Pertemuan dengan guru guru pejuang ini diawali pada pertemuan di SMP SMA Cahaya sebuah  sekolah gratis untuk dhuafa di kota Bogor. Disepakati peninjauan ke lokasi. Suasana hujan mengawali perjalanan dari gerbang IPB Dramaga menuju  Barat sekitar 10 km. Passs betul, saat itulah  jalan paling parah. Batuan licin, genangan dimana-mana.  Di tengah perjalanan Bu Guru Diah menanyakan, masih jauh pak ?....  yaaa sudah dekat sekitar 10 menit lagi. ( dalam hati dag dig dug, mungkinkah mereka  merasa jauh, berat atau malah tidak mau mengajar... )
Siapa siswa yang mau sekolah ?
Apa yang terjadi, Subhanalloh , diluar dugaan, ternyata para relawan guru ini malah semangat dan bertambah banyak dan langsung saja mencari siswa... rapat singkat membagi pencarian. Mereka masuk masuk menyusuri kampung . Akhirnya sekitar 16 orang berhasil menyatakan mau  menjadi siswa perdana. Alhamdulillah, mahasuci allah . sudah mendekatkan dengan para guru yang tabah
Pulang dari pencarian, ada rapat singkat membagi tugas pelajaran. Disepakati menyesuaikan jadwal kuliah sekolah berlangsung mulai jam 8 pagi sampai jam 11 siang.  Belajar setiap hari , sedangkan Ahad dan senin libur.

0 comments :

Posting Komentar